sponsored

Postingan Terbaru

Benarkah Aktivitas Manusia Membuat Badai Lebih Buruk?

Badai atau angin topan yang secara generik diistilahkan pakar meteorologi sebagai siklon tropis, telah memburuk dalam beberapa dekade terakhir lantaran aktivitas manusia.

Menurut dua studi baru yang diterbitkan bersamaan dalam Jurnal Nature, curah hujan tinggi penyebab banjir lebih dahsyat sehingga menelan korban jiwa dan menimbulkan kerugian materi lebih banyak dari sebelumnya di seluruh dunia, hal ini merupakan hasil dari badai tropis yang telah memburuk akibat perubahan iklim.

Selain perubahan iklim itu sendiri terbukti “bersifat antropogenik” alias disebabkan perilaku manusia; kegiatan manusia lainnya ditemukan bisa memperparah fenomena alam biasa menjadi sedemikian merusak.

Dengan kata lain, aktivitas manusia kemungkinan besar adalah akar penyebab yang membuat badai lebih buruk.



Ilustrasi badai sumber dragon image
Patricola adalah ilmuwan iklim di Lawrence Berkeley National Laboratory yang juga peneliti dalam salah satu dari dua studi baru. Ia dan para ahli sepakat bahwa dua studi ini bisa menjadi informasi penting untuk meningkatkan pencegahan terhadap cuaca ekstrem yang akan kita alami di masa depan. Bukan sekadar mitigasi banjir dan badai yang dilakukan perorangan, melainkan berimplikasi signifikan terhadap perencanaan kota yang perlu melibatkan berbagai pihak.

Studi pertama, yang dihelat Patricola dan rekan-rekannya, merupakan yang pertama kalinya menyimulasikan bagaimana angin topan serta badai seperti Katrina di Amerika Utara dan Haiyan di Asia Tenggara akan berkembang di iklim yang berbeda.

Selain memantau perkembangan badai sejak era pra-industri hingga zaman modern, ia memasukkan tiga proyeksi iklim berdasarkan berbagai tingkat pemanasan planet yang diprediksi terjadi pada akhir abad ini.

Temuannya menunjukkan, kecepatan angin sebagian besar tetap tidak berubah, pemanasan di lautan dan atmosfer telah meningkatkan curah hujan sekitar 5-10 persen dalam model futuristik dibandingkan dengan kondisi pra-industri.

Dalam skenario terburuk masa depan—jika tak banyak upaya dilakukan untuk membatasi emisi gas rumah kaca, atau jika suhu dunia telanjur menghangat sekitar 3-4 derajat celcius- maka curah hujan diprediksi akan naik dari 5 persen menjadi 30 persen dan kecepatan angin bakal meningkat sekitar 7-28 mil per jam atau mencapai 25 knot.

"Penelitian ini menambahkan tanda seru pada pesan yang sudah jelas, kita harus memperlambat pemanasan global dengan menghemat energi dan beralih dari fosil ke bahan bakar terbarukan, sambil mempersiapkan diri menghadapi cuaca lebih ekstrem di masa mendatang," ujar Jennifer Francis, seorang ahli badai di Universitas Rutgers dinukil.

Studi kedua, yang dipimpin oleh Gabriele Villarini, seorang insinyur sipil dan lingkungan di University of Iowa di Iowa City, memantau lebih dekat efek urban terhadap badai-badai berpotensi menghancurkan.

Secara khusus, ia meneliti Kota Houston—kota keempat terpadat di AS dan paling terdampak badai Harvey pada tahun 2017, meskipun tata kotanya megah dan berteknologi tinggi. Badai di kota itu belum pernah sedemikian merusak sejak akhir abad ke-20 atau sekitar 2.000 tahun yang lalu.


Dengan menggunakan model iklim layaknya studi Patricola, Villarini dan tim peneliti dari Princeton University menemukan bahwa urbanisasi dan topografi kota ternyata juga berperan besar.

Bagaimana tepatnya perubahan iklim dan perkembangan kota menyebabkan badai lebih buruk? Menurut Patricola, "Perubahan iklim mungkin telah menyebabkan peningkatan kelembaban atmosfer sehingga struktur badai ikut berubah."

Fisikawan memang telah memperkirakan sejak pertengahan abad ke-19 bahwa badai hanya akan tumbuh lebih intens sekaligus meningkatkan curah hujan, dalam iklim yang lebih hangat dan basah. Ketika udara memanas, peningkatan jumlah kelembapan diprediksi sekitar 7 persen per derajat Celcius.

Namun, lanjut Patricola, badai tidak normal yang membawa hujan lebat melebihi perkiraan, boleh jadi karena badai itu memusatkan curah hujan lebih kuat di tengah, sehingga menguras air dari tepi.

Sementara itu, Wired sebuah majalah asal Amerika menulis, meskipun badai diketahui sensitif terhadap karakteristik permukaan—gunung, sungai, tanah rawa; penelitian terhadap perkotaan terabaikan. Padahal, perkembangan kota bisa menyebabkan badai begitu fatal karena fenomena yang disebut “urban heat island effect.”

Singkatnya, ketika udara di atas perkotaan lebih panas daripada tempat lain seperti hutan, dampaknya bisa mengubah pola sirkulasi atmosfer sehingga lebih sering hujan lebat.

Alhasil, jalan beraspal yang menghalangi tanah menyerap air menciptakan banjir bandang. Lebih parah lagi, permukaan dan bangunan kota yang kasar bisa menambah gesekan badai saat berputar sekaligus menciptakan hambatan. Jika badai menerpa bangunan tinggi, dengan pergerakannya melambat, maka angin di sekitar yang tetap bergerak cepat membuat badai itu menumpuk di satu tempat.
 Berbagai Sumber *)